NADIA #duapurnamasatucahaya #cerpen
Matahari
tengah merangkak pergi, bersembunyi di punggung Gunung Kalora. Langit berubah menjadi melankolis, laksana seorang putri yang ditinggal pergi kekasih
hati. Sebuah pohon mati masih tetap berdiri kokoh menopang ranting-ranting
tuanya, ia punya pesona tersendiri untuk sekelompok burung gereja yang sesekali
hinggap saat fajar mulai menyembul hingga langit menjadi sendu. Nadia,
perempuan sederhana yang tengah duduk santai menyaksikan kepulangan para burung
gereja menuju tempat peristirahatannya, semakin lama burung-burung itu tak
terlihat lagi. Pergi dan mungkin besok akan kembali lagi.
Ada
dua keindahan alam yang selalu membuat Nadia jatuh cinta pada ciptaan Tuhannya.
Yang pertama adalah saat fajar mulai merangkak naik dari bawah kaki langit,
melukis pagi dengan warna sendu yang memanjakan mata, lalu membelai lembut bumi
dengan kehangatan sinarnya. Dan yang kedua adalah saat matahari merangkak pergi
meninggalkan langit, melukis senja yang melankolis, dan itu pertanda tak lama
lagi ia akan segera menemui Tuhannya. Menemui-Nya dalam sujud yang menenangkan.
Suara
panggilan Tuhan terdengar begitu mesra memanggil hamba-Nya, Nadia laksana anak
kecil yang akan diberi coklat. Ia pun bersegera menemui Tuhannya. Setiap
basuhan pada tubuhnya membuat dirinya merasa ringan dan sejuk, seakan-akan noda
dan dosa telah luruh bersama air wudhu. Ia biarkan sisa air wudhu itu di
tubuhnya, terutama wajah sederhananya. Sebuah sajadah merah telah tergelar rapi
menuju kiblat dan sepasang mukenah putih berenda merah telah ia kenakan. Dalam
sebuah cermin nampak Nadia yang tengah memperbaiki mukenahnya, ia ingin
terlihat cantik saat bertemu Tuhannya.
Ayahnya
bukan seorang imam masjid dan ibunya pun bukanlah seorang ustadzah atau ibu-ibu
pengajian kompleks yang setiap minggu berkumpul dalam majelis ta’lim. Nadia
hanya seorang anak perempuan biasa, yang taatnya pun belum sempurna, ibadahnya
pun masih tergolong ibadah orang awam. Sholat lima waktu, sesekali sunnah,
dhuha dan Tahajud pun tak rutin, mengaji pun tak begitu rutin setiap selesai
sholat, tajwidnya pun masih jauh dari kata sempurna, puasa senin kami belum ia
jalankan. Tapi, Nadia ingin sekali bisa menjadi muslimah yang taat. Ia ingin,
namun masih sekedar keinginan yang ia tutupi rapat-rapat.
--- bersambung
Komentar
Posting Komentar