Dilematik Anak KKN

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah sebuah program Universitas yang termasuk dalam beban SKS dengan mata kuliah ‘Kuliah Kerja Nyata’. Menurutku, mata kuliah ini sebenarnya adalah refleksi dari Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu “Pengabdian pada masyarakat” yang dibebankan kepada seluruh pihak Universitas termasuk mahasiswa. Selain sebagai sebuah tuntutan untuk sebuah kelulusan, KKN pun menawarkan bahkan memberikan pelajaran yang berbeda dibangku kuliah. Apa itu? Menurutku sih, pengalaman hidup, tentang bagaimana bergaul dengan masyarakat diluar dari kehidupan kampus, bagaimana menjadi pemimpin yang mengatur segala aspek dalam berbagai macam program, bagaimana bertanggung jawab pada diri sendiri dan kepada masyarakat atas setiap putusan yang diambil, bagaimana hidup bertoleransi dan berempati.

Semua hal yang ku sebutkan di atas bisa ditemukan dalam KKN, tanpa terkecuali KKN dikampus. KKN di kampus atau pun diluar kampus, KKN dekat kampus ataupun nun jauh dari kampus, KKN dalam kota ataupun KKN luar pulau, tetap saja KKN. Hanya bagaimana kita memaknainya menjadi sebenar-benarnya sebuah pengabdian pada masyarakat.

Tolak ukur dari sebuah keberhasilan ‘pengabdian pada masyarakat’ apa? Apakah dari berhasilnya program kerja saat itu? Apa dari banyaknya warga yang menangis saat perpisahan? Apakah dari banyaknya buah tangan yang diberikan saat pulang? Menurutku, tolak ukurnya bukan dari semua itu.

Keberhasilan dari sebuah pengabdian kepada masyarakat bukan dilihat dari berapa banyak program yang diselesaikan, tapi keberlanjutan dari program yang dapat menjadi aspek pembangunan bagi masyarakat desa. Bukan dilihat dari berapa banyak warga yang menangis saat perpisahan, karena sebuah tangisan dalam perpisahan adalah sebuah penolakan batin tentang waktu yang berputar amat cepat, tentang kebersamaan yang terasa singkat, tentang banyak hal yang belum bisa dilakukan dan diberikan, dan tentang sebuah harapan pertemuan dimasa yang akan datang dalam keadaan yang jauh lebih baik.

Keberhasilan tentang pengabdian pada masyarakat bukan pula dapat diukur dengan banyaknya buah tangan yang warga berikan saat pulang. Karena sejatinya buah tangan adalah sebuah pemberian ucapan terima kasih untuk sebuah kehadiran, menurutku.

Keberhasilan sebuah pengabdian pada masyarakat justru dapat dilihat pada hari-hari jauh sesudahnya, seperti yang aku katakan tadi ‘Keberlanjutan dari program’.

Seharusnya, para pemimpin desa harus lebih jeli melihat program-program KKN yang dapat membatu pembangunan desa, baik dari segi fisik desa ataupun dari segi sosial (masyarakat desa). Banyak hal yang dapat dikembangkan melalui program-program KKN jika kembali pada hakikat KKN tadi “Pengabdian pada Masyarakat”.

Tapi yah, namanya juga KKN itu sekali..belajarnya pun baru saat itu. Maklumlah jika ada yang tak sempurna menjalankan tugasnya dalam mengabdi pada masyarakat. Ide-ide brilian terkadang baru akan tercetus pada hari-hari terakhir, hari dimana kembali mengingat segala kekurangan yang telah terlewati dan selalu saja terselip sebuah kata antara penyesalan dan harapan “Seandainya saja kita begini, begitu....”.

Waktu telah bergerak dan akan terus bergerak maju, tak akan bisa kembali ke masa lalu. Iya, tak akan bisa mengulang hari kemarin. Tapi sebenarnya kesalahan dan segala kekurangan bisa menjadi sebuah pelajaran untuk masa yang akan datang.

Berbagai macam kesalahan dan kekurangn yang terjadi dalam KKN tahun-tahun sebelumnya harusnya menjadi sebuah pelajaran bagi Desa yang dituju. Berkali-kali anak KKN datang silih berganti, sebanyak itu pula semuanya mulai dari 0. Padahal, jika benar-benar memanfaatkan moment KKN, Desa akan lebih cepat dalam perkembangannya

Desa dapat mengambil program-program unggulan yang bisa membantu dirinya sendiri bahkan bisa menyatukan masyarakatnya sekalipun tanpa anak KKN. Keharmonisan hubungan sebuah Desa saat ditinggalkan oleh anak-anak KKN harusnya jauh lebih baik lagi, bukan sekedar saat ada anak KKN hanya karena ingin dibilang desanya ‘baik’.

Keberlanjutan dari program KKN bisa menjadi alternatif atau sarana menuju Desa yang Mandiri. Dan KKN bisa diartikan sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah untuk Desa. Contohnya, permohonan bibit pohon. Banyak anak KKN yang memanfaatkan bibit pohon gratis dari pemerintah, merekalah perpanjangan tangannya pemerintah untuk masyarakat, sekalipun hanya mengurus administrasi permohonan. Atau sumbangan buku-buku untuk perpustakaan Desa, merekalah menjadi akses dari segelintir orang yang ingin menyumbangkan buku-bukunya buat anak-anak di desa-desa terpencil.

Banyak hal yang bisa dilakukan saat KKN, hanya saja terkadang anak KKN lambat membaca situasi, dan kurang pengalaman. Mungkin, jika KKN itu diulang, yang kedua kalinya saya yakin pasti akan jauh lebih berhasil. Tapi apa iya ingin diulang? Jawabannya, tidak.

Kebanyakan anak KKN jika ditanya “Bagaimana KKN’nya ? Apakah ingin KKN lagi?” Jawabannya, “Menyenangkan tapi cukup sekali”. Bukan berarti karena tidak senang hati, ada hal yang jauh lebih memberatkan diri yaitu menjaga nama baik “Almamater” dan memenuhi janji. Jangan heran, kalau ada yang jawabannya seperti itu.

Sekalipun akan terulang bersama mereka, maka cukuplah dalam nuansa yang berbeda. Mungkin di lain waktu, dalam sebuah kesempatan dan sebuah pengabdian yang sebenar-benarnya.

Komentar

Postingan Populer