First Place, I Feel Free #bagian3 #DiaryMuslimahTeknik #BelajarNulisCerita
Hari pun
berlalu begitu cepat, dan sekarang tiba saatnya masa ORMIK. Ini hari pertama
ORMIK Fakultas, setelah kemarin melalui ORMIK Universitas.
ORMIK
Fakultas dilaksanakan di fakultas masing-masing, lengkap dengan atribut dan
peraturan yang dibuat panitia ORMIK Fakultas.
Seragam
putih abu-abu kini telah berganti dengan putih hitam. Sebuah bola yang dibagi
menjadi dua, di beri cat berwarna hitam dan sebuah tulisan “Teknik” berwarna
hijau. Tak lupa pula memberi kabel pada kedua ujungnya sebagai tali penggait,
maka jadilah sebuah helm ala Teknik.
Bukan anak
Teknik kalau tak kreatif, karung semen pun disulap menjadi sebuah tas cantik
pada masa ORMIK, diberi tali yang dikepang yang terdiri dari dua belas tali
kecil berwarna putih.
Jilbab pun
tak lepas dari peraturan, warnanya harus hitam polos. Dipercantik dengan pita
yang terbuat dari tali jepang berwarna hijau, dan ditempelkan pada jilbab
sejumlah usia pemakainya.
Sepatu hitam
polos pun masih belum matching jika tak ditambahkan tali jepang berwarna hijau.
Dan kaos kaki bola bewarna hijau melengkapinya.
Hari ini
kami ditunggu tepat digerbang kampus. Tepat pukul 05.30. Udara dingin pun harus
diterobos, agar tak telat. Telat sedikit, maka harus ekstra siap menghadapi
hari yang akan terasa lebih panjang dari biasanya.
Depan kampus
subuh menjelang pagi telah ramai dikerumuni dengan para MABA dan panitia ORMIK
Fakultas yang bertugas menjemput MABA.
Hari ini
kita bisa melihat berbagai macam kostum MABA, seakan-akan setiap Fakultas
tengah berlomba membuat desain kostum terbaik pada hari ini.
Ada-ada saja
tingkah lucu para senior pembuat kebijakan. Ada Fakultas yang mengharuskan MABA
memakai kacamata hitam, menggulung celana dan memakai kaos kaki dengan warna
berbeda, menjadikan compeng sebagai kalung yang sesekali di’isap jika MABA
terlihat bandel, atau ada juga yang lagi pesta balon.
Topi pun
beraneka ragam, mulai dari topi kerucut hingga topi toga yang terbuat dari
kardus. Bayangkan saja, betapa hebatnya terlihat..baru masuk kuliah saja sudah
bisa pakai toga.
Anehnya tak
seorang pun berani mempertanyakan tingkah mereka ini, bahkan aku pun seperti
itu. Lebih menurut saja, mengikuti alur.
Setiap MABA
harus mencari tempat dimana Fakultasnya berkumpul. Tak lama bagiku menemukan
segerombolan teman-teman baru yang sama sekali belum ku kenal. Karena kostumlah
aku tau jika mereka adalah orang-orang yang akan menjadi temanku. Tanpa ragu
aku pun ikut berbaris.
Telat
sedikit aku pasti mendapat hukuman. Syukurlah, aku bisa beruntung dihari
pertama ini. Sedetik setelah aku beridiri tepat dibelakang seorang MABA
berkepang, kami pun di tuntun berjalan menuju fakultas.
Kami
berjalan beriringan dengan barisan yang harus tetap rapi sampai ditujuan. Tak
lupa, sebuah nyanyian ala Teknik mengusir kesenduan pagi berubah menjadi pagi
yang bersemangat.
Semburat
cahaya fajar pun mulai nampak di ujung kaki langit. Aroma tanah pun begitu
terasa setelah semalam dibasuh oleh hujan. Burung-burung pun menari terbang
tinggi dan sesekali merendah menyaksikan para calon pemimpin disambut pada pagi
ini.
Jalan ini
ternyata cukup panjang, membuat aku mulai merasa lelah. Belum sampai di depan
Fakultas. Kami diberhentikan ditengah jalan. Barisan pun masih tetap rapi. Dan
beberapa orang senior telah siap menyambut kedatangan kami.
“Tunduk!”
teriak seseorang diujung sana
Kami pun
tertunduk, diam. Hening.
Hanya ada
kami yang tertunduk menatap lekat sang bumi tempat kami berpijak, sementara
langit pun menatap kami dari kejauhan.
Seakan angin
berbisik padaku “Hari ini akan berlalu,
tenanglah”
Seorang
senior menyuruh lima orang MABA dibarisan terdepan untuk maju kedepan, tetap
dengan kepala yang ditundukkan. Suara langkah mereka terdengar semakin jauh dan
hilang. Entahlah, apa yang terjadi.
Masih tetap
ditempat yang sama, tertunduk tak berdaya. Menatap lekat sang bumi, membuat
kita tahu jika kemarin kita pernah angkuh. Dan sekarang ego tengah ditantang,
apakah kita tetap keras kepala atau memilih mengalah untuk menang?
Tiba saatnya
giliranku, kakiku lemas. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Tanganku dingin
dan berkeringat. Mencoba tenang dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya
“Fiuhh”
“Hey, kamu...Cepat!” hardik seorang
senior
Aku pun
berlari dengan wajah yang ku tahu semakin polos terlihat. Kini Aku berhadapan
dengan seorang senior pria. Dia menyambutku tanpa senyum, matanya tajam
menatapku. Dan aku pun kembali tertunduk lemah dibuatnya.
“Keluarkan isi tasmu!” pintahnya
Aku pun
mengeluarkan satu persatu isi tasku. Barang-barangku pun berserakan diatas
rumput. Setelah puas melihat isi tasku, senior ini pun kembali bersuara “Masukkan kembali. Setelah itu ikut jalur
sana” sembari menunjuk jalan di depannya.
Aku bergegas
memasukkan semua barang-barangku. Setelah ku pastikan tak ada yang tertinggal,
aku pun berlari mengikut jalan yang ditunjukkan senior tadi.
Di ujung
jalan itu seorang senior telah menunggu. Aku disuruh berbaris dan menundukkan
kepala. Kembali menatap lekat bumi, mengingatkan tempat kita berpijak dan
tempat kita berpulang kelak.
Setelah
empat orang MABA lainnya berkumpul, kami digiring menuju tempat berikutnya.
Kali ini tidak berjalan, tapi jalan jongkok. Tanpa filosofi apapun.
Cukup jauh
jalan jongkok akhirnya kami dipertemukan dengan MABA lainnya yang lebih awal
mendapat tantangan. Kami kembali berbaris. Setelah rapi, kami pun kembali
disuruh tunduk menatap sang bumi.
Tiba-tiba
beberapa orang senior datang menghampiri kami. Langkah kaki mereka terdengar
jelas, amat jelas.
“Tunduk... tunduk.. tunduk..!!” teriak
mereka
“CAMA...CAMI...
Ambil posisi” pintah mereka
CAMA adalah
panggilan untuk MABA laki-laki, sementara CAMI adalah panggilan untuk MABA
perempuan.
Kami pun
segera melakukan perintah mereka. Para CAMA bersiap dengan posisi push up, sementara CAMI dengan posisi skot jump. Sudah tak asing lagi untuk
kami dengan kata “Ambil posisi” sebab
pertemuan pertama kali difakultas waktu itu kami telah diperlihatkan.
Setelah
dirasa cukup, kami pun diizinkan istirahat. Belum benar-benar pulih kami
disuruh berjalan jongkok menujur fakultas.
Tiba diujung
jalan gerbang Fakultas kami disuruh berdiri oleh seorang senior. Beberapa orang
senior telah menanti kami tepat di depan Auditorium Teknik. Dari ujung sana
terdengar suara nyaring memanggil kami “Woy,
lari...”
Kami
tergesa-gesa dibuatnya. Seperti ada bahaya tsunami yang akan menghantam kami.
Tepat di
depan Auditorium beberapa orang senior perempuan tengah berdiri dengan
cantik’nya dihadapan kami. Mereka nampak lebih ramah, mungkin karena mereka
perempuan hingga aura keibuannya terpancar.
Sang fajar
pun semakin meninggi, dan helaian angin begitu menyejukkan. Membuat keringat
yang bercucuran menjadi kering karena diterpa angin siang yang berhembus dari
lautan yang jauh diujung sana
Wajah
keibuan itu tak lagi menyejukkan pandangan, mereka pun sama. Menatap kami
sinis, seakan dijidat kami telah tercantol tulisan “Anak Bandel”.
Seorang
senior perempuan menghampiriku. Menyapaku dengan kurang menyenangkan “Hei, kau. Siapa suruh pakai pita merah?”
tanya seorang senior berjilbab yang sesekali ku tatap
“Bukannya begitu kak, yang sakit pakai pita
merah” jawabku
Hari ini aku
memakai pita merah dilengan kananku. Sesuai petunjuk yang aku baca beberapa
hari lalu. “Bagi mahasiswa yang memiliki penyakit, diwajibkan memakai pita merah
dilengan kanan” begitu yang tertera dikertas pengumuman.
Dia semakin
menatapku sinis, hingga aku sadar jika aku lupa untuk menundukkan kepala. “Sakit apa kau?” tanyanya
“Maag kak” jawabku lemas
“Manja kau ini. Hanya Maag juga. Maag itu
penyakit anak Teknik. Maag itu bukan penyakit!” ujarnya menggerutu
“Surat keterangan doktermu mana?”
tanyanya kembali
“Sudah saya stor kak, dengan formulir
pengembalian” jawabku
Ia
meninggalkan ku. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa tumpukan kertas
formulir.
“Ini punyamu?” tanyanya sembari
menunjukkan formulir milikku
“Iya kak” jawabku singkat
Dibolak-baliknya
formulir itu, “Mana suratmu? Tidak ada.
Pembohong kau!” ujarnya dengan nada marah
“Ada kak, saya sudah kumpul”
“Banyak alasan kau ini. Kau melawan?”
ujarnya, menantangku
Aku terdiam
tertunduk lemas dibuatnya. Aku hanya bisa diam, kalau pun bicara, aku tau aku
tetap salah dihadapan mereka. Keributan kecil ini mengundang senior lainnya
untuk datang mengerumuniku.
Kini aku
dilingkari oleh senior lainnya. Sama saja, tak ada yang membelaku. Aku cemas
dibuat oleh mereka. Perkataan yang tak baik pun keluar begitu saja, aku hanya
bisa beristighfar.
“Kau melawan?” Ujarnya kembali
menantangku
“Ya..tidak” jawabku
“Saya tunggu kau pulang, saya buka
almamaterku. Kita berkelahi!” tantangnya.
Aku semakin
khawatir. Para senior pun pergi meninggalkanku. Aku kembali menunduk, menatap
sang bumi. Aku tau, mengalah untuk menang adalah yang terbaik.
Waktu
berjalan begitu lambat. Kami pun disuruh senam pagi menjelang siang. Setelah
itu, kami masuk dalam Auditorium.
Auditorium
ini cukup luas, namun terasa pengap. Aroma keringat ratusan MABA bercampur
menjadi satu.
Tiba saatnya
sambutan dari wakil dekan. Seorang ibu paruh baya tersenyum pada kami.
Senyumannya begitu menenangkan. Membuat kecemasanku tiba-tiba sirna dibuatnya.
“Beginilah di Teknik. Kalau tidak suka,
silahkan pindah sekarang. Disini kalian akan diajar bagaimana menjadi diri
kalian sendiri”
Suasana
tegang pun mencair, kami sesekali tertawa karena ceritanya. Padahal objeknya
adalah kami sendiri. Kata-katanya begitu menenangkan, seakan kami lupa jika
pagi tadi kami telah melewati hari yang sangat sulit.
“Jangan lupa, besok baju’nya dicuci. Baru
sehari dipakai pasti leher bajunya sudah coklat” ledeknya
Kami pun
kembali tertawa.
Waktu pun
telah memasuki waktu sholat dzuhur. Kami digiring oleh beberapa senior menuju
sebuah mushollah. Mushollah ini terletak ditengah-tengah
fakultas Teknik. Sepintas tak ada yang nampak istimewa dari Mushollah ini.
Namun, ini adalah tempat pertama yang membuatku merasa nyaman. Cukup nyaman,
untuk sekedar beristirahat dan lepas beberapa menit dari sebuah ketidaktenangan
hari ini.
Tempat ini
sedikit jauh dari suara keras yang begitu lantang suka menghardik, sekalipun
masih ada terdengar tapi dengan nada yang sedikit rendah. “This is the First place, I feel free”
Aku kembali
bertemu dengan senior tadi. Dia menatapku tajam, aku hanya bisa tertunduk
lemas. Otakku berputar dan membayangkan sebuah drama perkelahian senior dan
maba berjilbab sore ini.
Aku putuskan
untuk memberanikan diri menghadap senior itu dan meminta maaf sekalipun aku
merasa tak bersalah.
“Permisi
kak” Sapaku
“Kenapa?”
jawabnya
“Saya minta
maaf kak, saya salah tadi.” Ujarku
Dia menatapku lekat, lalu tersenyum dan berkata “Ohh..iya
dek, saya juga minta maaf”
Tak lupa pula ku jabat tangannya, pertanda masalah kami telah selesai.
Tak lupa pula ku jabat tangannya, pertanda masalah kami telah selesai.
Fiuh..
akhirnya ketidaktenangan hari ini pun berakhir damai. Hampir saja aku membuat
rekor baru, berkelahi di hari pertama ORMIK.
----Bersambung
Komentar
Posting Komentar