Scappa Per Amor di Balaesang Tanjung #EkspedisiLewonu


Tak ada pagi tanpa suara deburan ombak.. kicauan burung pagi hari pun seakan menjadi musik alam yang terindah. Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Ini hari kelimaku di desa Walandano, mulai terbiasa dan harus beradaptasi dalam lingkungan baru ini. Maka, pagi ini tak ada ragu lagi untuk bangun lebih pagi untuk melakukan rutinitas layaknya dirumah sendiri. Seperti biasa menyalakan tungku api untuk memanaskan air dan membersihkan dapur.
Hari ini kami berencana akan pergi ke dusun tiga. Rencana dari beberapa hari yang lalu namun selalu tertunda dengan alasan yang selalu sama “Jauh. Tidak ada kendaraan”. Kalau seperti itu aku rasa tidak akan pernah menginjakkan kaki ke sana. Sebelumnya malam hari aku dan indah memutuskan untuk berangkat kesana dengan jalan kaki. Nekat, ya harus.
Dapur pagi ini lebih ramai dari kemarin, aku ditemani muchlis, ichsan dan apriono sementara indah mencuci dikamar mandi. Ternyata asyik bercerita dengan mereka bertiga. Berbagi pengalaman tentang kuliah di fakultas masing-masing. Dan disitu pula ku sampaikan keinginanku dan indah untuk pergi ke dusun tiga.
“Eh, habis kalian sholat jumat kita pergi ke dusun 3” ujarku sambil membuat arang ditungku
Ichsan sontak kaget “Hammaa... Jauh itu..” Ujarnya
“Tapi kapan kita kesana? Tunggu mobil antar pupuk lagi? Palingan tidak ada” Jawabku menggerutu
“Mampu kamu ba jalan?” tanya apriono
“Kan sama-sama, sampe mana mampuunya kita. Bisa itu” Jawabku menantang
“Jadi ba jalan ini?” tanya muchlis, dia nampak khawatir
“Iya, Oke. Saya terserah kalian saja” Seru Ichsan
“Oke, bungkus” jawab muchlis dengan gaya cucconya..
-----
Tiba-tiba Indah masuk ke kamar dengan wajah yang kurang menyenangkan, nampak raut mukanya yang cemas dan tingkahnya yang gelisah.
“Kenapa cante?” tanyaku menyelidiki
“Haa.. tidak ca,” Jawabnya seadanya.
“Kenapa? Jangan disimpan sendiri. Cerita, ndah” ujarnya
“Tidak cante” jawabnya singkat
“Hhhmm.. sudahlah kenapa? Pasti ada sesuatu”
“Tadi saya mau buang sampah di dapur, tapi kau tau.. ada anjing nyelonong masuk dapur. Huh, tidak tau apa sudah yang dia buat” cerita indah
Kaget mendengarnya, “Hahh...ioh? Astaga..” jawabku
“Nda tahan ca disni, mau pindah saja.” Ujar indah,
“Tapi bagaimana ndah, bilangnya ke pak Kades dan bu Kades” Jawabku
“Itu lagi, bagaimana. Tidak baku enak” jawabnya

Kami hanya berbaring dikamar, nafsu makan seakan benar-benar hilang karena anjing yang nyelonong masuk ke dapur. Kami benar-benar diuji masalah ini. Sedih rasanya.

Pukul 14.40 kami keluar rumah, di teras depan rumah ternyata ada pak Kades dan bu Kades yang senang duduk-duduk bersama beberapa warga. Kami pun berpamitan pada mereka.

“Kemana dek?” tanya pak Kades
“Dusun tiga, pak” Jawab kami serentak
“Wuih..Jauh itu” Ujar bu Kades
“Besok saja, nanti sama-sama mobil yang antar pupuk” Bujuk pak Kades
“Atau pinjam motor saja” bu Kades ikut membujuk
“Tidak usah pak, nanti kita ke dusun dua saja” Jawab Ichsan.

Kami berlima tetap saja bandel, berjalan kaki. Dan sedikit bohong pak Kades, padahal kami memang benar-benar berencana ingin ke dusun tiga. Belum lama berjalan tiba-tiba hujan turun. Kami mencari tempat berteduh. Sebuah kios setelah poskesdes adalah piliihan Muchlis. Katanya sekalian menyiapkan bekal untuk jalan kaki. Hujan tetap saja turun, tak begitu deras tapi tidak bisa dikatakan germis juga. Lagi-lagi kami tetap nekat untuk melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan kami bersenda gurau, syukurlah Muchlis bisa membuat cair suasana. Tingkahnya yang lucu membuat jalan kami tak begitu terasa. Di ujung jalan sana telah nampak atap gereja pertanda kami hampir masuk di dusun dua. 

Sepanjang jalan dusun dua sepi, hanya ada beberapa ekor anjing yang berkeliaran di pekarangan rumah warga. Kami berlima layaknya si bolang yang berjalan menyusuri desa ini. Semangat dan menyemangati itulah yang kami lakukan.

Cukup jauh berjalan tibalah kami di jalanan bertebing tak berpenduduk. Dari atas sini kita bisa melihat keindahan yang tak berbatas lagi, pantai punya pesonanya. 

Satu jam berjalan kami masih saja tak menemukan rumah warga. Bagaimana bisa ada rumah warga, sepanjang jalan hanya ada tebing-tebing dibagian kanan dan jurang dibagian kiri. Medan jalannya pun menantang naik turun kalau kata si muchlis “Maju..mundur..mundur.. cantik” sambil menirukan gaya princess Syahrini..

Lelah juga, kami berhenti di tebing batu yang jalannya cukup lebar. Duduk sejenak untuk kembali mengatur napas dan mengumpulkan tenaga. Air mineral menjadi penawar dahaga buat ku. Setelah cukup pulih kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Perkerasan jalan di desa ini tak begitu baik, rusak. Ini barulah awal dari perjalanan kami. Di depan sana masih ada beberapa segmen jalan yang rusak parah hingga ratusan meter. Jalan ini sering dilalui oleh kendaraan berat, tapi menurut pengamatanku bukan menjadi alasan yang tepat. Sebab dalam perjalanan ini kami menjumpai air terjun yang debitnya tak begitu besar, namun airnya cukup mengalir ke badan jalan. Ditambah lagi tak ada drainase untuk menjadi tempat mengalirnya air. Alhasil air dan perkerasan jalan bersentuhan secara langsung. 

Ketika hujan deras tiba tebing-tebing ini seringkali mengalami longsor, maka tak perlu heran saat melihat tumpukan tanah yang berada dipinggir badan jalan dan kondisi badan jalan yang berlumpur. Tebing-tebing ini lebih didominasi oleh tanah. 

Tak terasa kami telah berjalan cukup jauh, satu setengah jam tapi masih sama. Tak ada tanda-tanda rumah warga di ujung sana, yang ada hanyalah gunung dan dibaliknya tetap gunung. Lelah mulai terasa kembali. Dari balik gunung terdengar deru mobil, kami menuju bagian terpinggir dari badan jalan. Ternyata benar, sebuah mobil pick up melewati kami. Kami berlima saling menatap. Namun mobil itu cepat berlalu. Dan kami punya pikiran yang sama, ingin numpang pulang. Tak lama berselang ada sebuah mobel trek merah, mobil itu singgah dan menawarkan tumpangan tapi kami masih saja menolak dan tetap kekeh melanjutkan perjalanan. Dua kali mendapat kesempatan untuk kembali tapi ditolak, kami benar-benar nekat.

Kami berlima melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami sepakat untuk menerima tumpangan, karena lelah tak begitu tertahankan. Deru mobil terdengar dibelakang kami, tanpa segan mobil itu menghentikan langkah kaki kami. Dan berniat baik memberikan kami tumpangan. Mobil pick up yang memuat barang-barang elektronik menawari kami untuk naik, sebab perjalanan ke dusun tiga masih sangat jauh menurutnya. Bak mobil yang hanya tinggal beberapa bagian terpaksa kami iyakan, sebab berjalan kaki memang tak akan sampai, kalaupun sampai mungkin hingga malam.
 
Berdesak-desakan di atas mobil, tapi tetap saja bisa tertawa seakan tak memiliki lelah. Perjalanan ke dusun tiga benar-benar jauh. Naik mobil ini saja hampir 20 menit. Kami tiba didusun tiga, rasanya senang. Tapi tak kunjung mendapati rumah warga. Kami berhenti disebuah warung makan di pinggir pantai.

Seorang bapak tua menyambut kami dengan ramah. Bapak itu pemilik warung, segera ia mempersilahkan kami masuk dan memanggil istrinya. Warung ini sangat sederhana, tak begitu besar dan aneka makanan kecilnya tak begitu banyak. Hanya ada sebuah lemari kaca panjang yang berisi deretan minuman yang tertata rapi. Disebelah rumah ini terdapat warung kecil dengan empat meja makan. Dibelakangnya ada dua buah tempat duduk yang cukup besar terbuat dari bambu dan keduanya di buat dengan elevasi yang berbeda. Dari tempat ini lautan nampak jelas.Indah.

Tak lama kemudian pak kadus datang. Bapak pemilik warung segera keluar untuk menghentikan. Dan akhirnya pak Kadus berhenti. Pria paruh baya dengan menggunakan kaos berkera warna biru dongker yang nampak lusuh, celana puntung dan topi berlambangkan PU Dinas umber Daya Air menjadi gayanya hari ini. Seorang pak Kadus nan sederhana, rambutnya masih nampak hitam lebat. Jenggot dan kumis tipis menjadi ciri khasnya. Tatapannya sedikit tajam. Kulitnya coklat dan otot-otot tangannya nampak seakan mengisyaratkan jika ia pekerja keras. Tanpa ragu ia pun menyapa kami, mengulurkan tangan untuk berjabat bersama kami satu persatu. 

Seperti biasa yang selalu ditanya dari kami adalah asal suku. Ternyata bapak ini cukup seru diajak berbicara. Tak ada lagi ragu padanya, jika dia benar-benar orang baik.

Suara deburan ombak senja ini menenangkan. Semburat cahaya senja nampak sangat menawan. Maka, Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Perutku terasa sangat lapar, sebab sedari siang tadi tak tersentuh oleh nasi karena ulah anjing yang nyelonong masuk ke dapur. Semangkok mie sedap soto dan satu butir telur rebus menjadi pilihan kami berlima. Kami pamit untuk mengisi kampung tengah diruang depan. Setelahnya kami kembali berkumpul dengan pak Kadus dan bapak pemilik warung.

Mulailah pak Kadus bercerita tentang pengalamannya. Cerita diawali dengan beraneka ragam suku yang ada di Walandano.

Keindahan alam ini membuatku teringat jika ashar belumlah ku tunaikan, maka segeralah aku mencari tempat untuk menemui Allah.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil mukenah yang telah ku sediakan dalam tasku. Tanpa ragu aku segera menghampiri bapak pemilik warung.

“Pak, saya mau numpang sholat. Wudhu’nya dimana?”
“Alhamdulillah, ayuk nak.. sini, saya suka yang seperti ini.” Ujar bapak pemilik warung sembari berdiri dari kursinya.
“Sini, masuk lewat sini. Terus saja, wudhu’nya diluar ya.” Ujar bapak pemilik warung sambil menunjukkan jalan
“Bu, ada yang mau sholat.. sajadahnya digelarkan bu.”pintah bapak pemilik warung pada ibunya yang ada dibelakang. 

Anak ibu pemilik warung sibuk menyediakan tempat untukku. Warung sederhana milik bapak ini sangatlah sederhana, dapur lantai hanyalah batu-batu dan berdindingkan papan. Namun tetap rapi dan  bersih. Rak bumbu-bumbu tersusun rapi pertanda jika mereka sangat menjaga kebersihan.

Aku segera menuju belakang rumah untuk berwudhu. Kamar mandinya sangatlah jauh dari kata sederhana. Sebuah kamar mandi papan yang berlantaikan batu-batu hanya ada sebuah ember berisi air. Dari dalam kamar mandi ini dengan sedikit berdiri kita bisa melihat pantai. Sepertinya ini kamar mandi darurat. Segera ku membasuh diriku.

Setelah berwudhu aku segera masuk ke dalam warung untuk menunaikan sholat. Teduh rasanya hatiku berada disini, rasanya ingin berlama-lama ditempat ini. Terasa tenang tanpa perlu risih dengan binatang-binatang itu lagi. 

Selesai menunaikan sholat aku bergegas kembali berkumpul bersama mereka, rasanya aku telah kehilangan banyak cerita dari mereka.

Pak Kadus masih menjadi tokoh cerita dalam ceritanya. Tak segan ia membagi pengalamannya. Tak ada malu untuk menceritakan perilakunya terdahulu.

Pak Kadus mengaku jika dulu ia adalah seorang pemabuk berat, bahkan hampir mati karena minum terlalu banyak. Gaya bicaranya unik, memadukan bahasa kaili dan indonesia..setidaknya aku sedikit paham dibuatnya. Penuturan yang sederhana disertai bahasa tubuhnya, kami cukup mengerti dibuatnya. Sekali-sekali kami tertawa geli mendengar ceritanya.

“Saya hampir mati karena mabuk, anjing pun sudah menjilat pipi yang ada muntahnya” ceritanya
“terus kenapa bisa berhenti pak?”
“Waktu malam jumat saya mimpi. Tiba-tiba ada sebuah piringan besar datang. Dan ada suara yang mengatakan ‘Sudah dia tau, tapi masih dia lakukan’. Piringan besar itu berisi timah panas mendidih. Mulut saya terbuka, dan timah itu masuk kedalam tenggerokanku. Saya lihat badanku yang ada tinggallah tulang. Tiba-tiba saya terbangun, dan saya sempat berpikir ini hanya mimpi. Yaa, saya lanjutkan saja tidur lagi” tutur pak Kadus

Lelaki paru baya ini terus mengisap rokoknya, sesekali meneguk kopi yang ada dihadapannya. Dan ia pun kembali melanjutkan ceritanya.

“Mimpi itu tiga kali terulang, akhirnya saya sadar kalau memang saya salah dan harus berubah” ujarnya dan tertawa. “Kalau saya ditawari minum, ya..saya beralasan kalau saya lagi sakit tenggerokan” pak Kadus kembali menertawakan pengalamannya

“Saya yakin, manusia itu tidak akan pernah berubah sebelum ia mengubah dirinya sendiri. Begitukan dalam Al-Qur’an? Karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah dirinya” ujar pak Kadus
“Iya, pak” Seru kami.

Memahami perintah Allah dengan cara sendiri dan dengan sederhana menjadikannya Insyaf dan benar-benar ingin berhenti dari kebiasaannya. Pak Kadus masih saja terus bercerita membagi pengalamannya yang tak akan pernah sama dengan orang lain. Ternyata belajar tentang hidup itu bisa dengan siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tak perlu dengan orang yang memiliki deretan gelar dinamanya, cukup bapak separuh baya yang sangat sederhana aku telah menemukan pelajaran berharga.

Bukan hanya masalah kenakalannya. Namun toleransi beragama yang telah bertahun-tahun ia jalani. Seakan tak ada habisnya sabar, ya..sabar itu memang tak pernah berbatas. Jika sabar itu berbatas, maka bukanlah sabar namanya.

Hidup dalam lingkungan mayoritas non muslim, jikalau pun muslim namun dengan pemahaman minim tak jarang menjadikan identitas keislaman hanyalah sebatas KTP. Pak Kadus bukanlah imam masjid, ia hanyalah seorang pria nan sederhana tapi bisa memaknai keislamannya dengan baik. Toleransi beragama adalah yang ia lakoni bertahun-tahun. Maklum, sepertinya ia telah besar di tempat ini.

Desa Walandano memiliki warga yang mayoritas non muslim. Tak jarang terjadi perkawinan silang antar agama. Berpindah-pindah keyakinan atas nama cinta pun sering terjadi, mungkin telah menjadi hal biasa disini. Selagi bisa toleransi, maka tak apa. Itu yang ku pahami. Tapi tidak dengan bapak ini, toleransi bukan seperti itu. Pindah agama adalah suatu hal yang salah bahkan katanya “Sinting”. 

Lingkungan yang mengharuskan membiasakan tapi tetap tidak melanggar aturan Allah. Berusaha berada dalam hidayah-Nya, namun ia tetap berusaha menjadi pemimpin yang bermasyarakat tanpa membeda-bedakan agama warganya. Salah ya salah, benar ya benar.

Baginya pekerjaan sebagai Kepala Dusun bukanlah sebagai pemimpin, tapi bagaimana caranya ia bisa bermasyarakat dan menentramkan kehidupan masyarakatnya tanpa harus membeda-bedakan. Maklumlah, di dusun tiga ini terdiri dari dua agama mayoritas yaitu muslim dan non muslim. Pekerjaannya tak mudah, menyatukan semangat bermasyarakat antar dua agama taklah mudah. Tidak seperti dusun satu yang mayoritas muslim dan dusun dua yang mayoritas non muslim.

Ditambah lagi jarak dusun tiga dari dusun dua dan satu sangatlah jauh. Bukan hanya jauh tapi kondisi medan jalan yang rusak parah dan rawan longsor menjadikan dusun ini jauh untuk dijangkau. Tak heran jika dusun ini menjadi dusun yang jarang dijumpai sebab akses jalan yang tak begitu baik.

Namun, sebagai pemimpin pak Kadus tetap berbesar hati. Ia sering terlihat mondar-mandir di dusun satu. Sekalipun jarak dan kondisi jalan selalu menjadi alasan untuk yang lainnya, ia tetap saja menjalankan tugasnya dan rela berurusan di dusun dua.

Bertemu pak Kadus adalah hal yang terbaik hari ini. Tak sia-sia berjalan kaki jauh ditambah naik mobil berhimpitan. Sebab aku menemukan jawabannya disini. Jawaban tentang bagaimana kita harus berusaha bertoleransi tanpa harus melunturkan keimanan, bagaimana caranya bersikap sopan pada umat lainnya.

Semburat cahaya matahari semakin redup, tak lama lagi sunset akan terjadi. Suasana senja yang merah merona berubah menjadi teduh, seteduh hatiku bertemu bapak ini. Bapak ini mengatakan pada kami jika dia sangatlah bersyukur bisa lepas dari kebiasaan buruk minum-minuman keras.

“Kalau hanya bisa, saya ingin menjabat tangannya Tuhan untuk bilang ‘Tuhan, terima kasih’” ujarnya sambil menirukan gaya bersalaman

Tiba-tiba saja hatiku semakin teduh dibuatnya. Bapak ini benar-benar mengispirasi. Mungkin dengan menjabat tangan Allah, ia merasa bisa mengucapkan rasa syukurnya yang terdalam. Namun, itu hanyalah bentuk pengekspresian dari rasa terima kasih yang tak terkira.

Cahaya semakin ingin menghilang, mobil pick up yang kami tumpangi tak muncul-muncul. Tiba-tiba ada sebuah truk datang. Kami diberi tumpangan. Segera pamit pada ibu pemilik warung dan anaknya beserta pak Kadus. 

Mobil trek ini mengangkut kopra, rasanya ingin mual. Tapi harus bisa ditahan, karena kalau tak begini mau pulang jalan kaki tak akan sanggup. Kami berlima naik segera di trek. Di atas trek terdapat beberapa karung penuh koprah dan sebuah peti. Kami mengatur posisi dan bersiap untuk pulang ke dusun satu. Selama perjalanan seperti biasa, kami bersenda gurau. Dan sangat bersyukur diberi pengalaman yang berharga. Tak akan terulang lagi kejadian ini.

Pengalaman hari ini akan menjadi kenangan yang tak akan bisa terlupakan untuk kami. Perjalanan panjang yang melelahkan namun cukup menenangkan. Semburat cahaya di kaki langit semakin lama semakin lenyap. Dari atas trek ini aku bisa memandang alam ini, tak peduli lagi aroma koprah yang menyengat. Aku menikmati senja ini, benar-benar menikmati lelahku dalam syukur yang tak berbatas. Bersyukur karena Allah mempertemukanku dengan bapak ini.

Canda dan tawa terus saja mengalir bersama kami. Selalu ada bahan cerita. 

Aku tiba-tiba saja berteriak “Welcome..the real adventure” berteriak bebas sepuasku sama seperti pertama kali aku datang ketempat ini, lelahku rasanya habis.

Kami menikmati perjalanan ini. Tak pusing lagi, terserah pak Kades mau marah kalau sampai tau kami nekat jalan kaki ke dusun tiga. Toh, kami punya niat yang baik yaitu mengunjungi pak Kadus 3.

Melihat cahaya diujung jalan sana pertanda kami telah masuk dalam wilayah perumahan warga. Senang rasanya, kami sampai dirumah dengan selamat dan tentunya berhasil menyelesaikan ekspedisi ke dusun tiga. Di teras rumah nampak ibu kades sedang duduk menunggu kami. Wajahnya heran melihat mahasiswa ini berada di atas trek.

Kami disambut dengan senyum, mungkin tanda lega jika kami telah sampai dengan selamat. Segera masuk ke rumah dan membersihkan diri untuk segera beristrirahat. Ternyata lelahnya barulah terasa,, fiuh...

Komentar

Postingan Populer