Pejuang Pagi, adik-adik PAUD Kartini Walandano
Rabu, 25 Februari
2015
Hai embun pagi..
subuh ini semakin menggelisahkan.. suara deburan ombak yang menghantam karang
amat terdengar nyaring.. dan rasanya sakit menghantam hati yang kunjung tak
usai..
Dua hari ini
benar-benar ku sibukkan diriku dengan segala aktifitas. Tak pusing harus pergi
pagi dan melewati beberapa gunung dengan kondisi jalan yang luar biasa
tantangannya.. perjalanan yang kurang lebih 45 menit harus dilalui dengan
sepeda motor. Kondisi jalan yang amat rusak parah harus dilalui dengan hati
yang ikhlas. Tak jarang, lubang, becek, lumpur harus dilewati demi mencari rasa
bahagia yang tersembunyi.
Hari senin adalah
hari pertamaku menginjakkan kaki disebuah sekolah PAUD di Walandano. Sebuah
gedung yang sangat jauh dari kata sederhana kini ada dihadapanku. Luas bagunan
ini berkisar 8 x 4 m, dindingnya terbuat dari batako tanpa plesteran, atapnya
terbuat dari rumbia.. kata bu Askia, jika hujan datang sekolah ini pasti
kebajiran baik di dalam maupun halaman.
Sekolah PAUD
“Pendidikan Anak Usia Dini” tempat belajar sambil bermain. Memang benar ya,
belajar itu bisa dimana saja. Buktinya anak-anak ini tetap semangat belajar
meski kondisi sekolah yang bisa dikatakan belum layak dijadikan sebuah sekolah.
Sebuah permainan
lucuran yang sudah tua usianya terpajang dihalaman depan. Ini mainan
satu-satunya yang dimiliki sekolah, tak ada jungkat-jungkit atau rumah-rumah
bahkan ayunan... hanya sebuah lucuran tua yang telah berkarat bahkan hampir
roboh.
Sekolah PAUD ini
memiliki murid sebanyak 37 orang. Alhamdulillah dihari pertama aku bisa
menjumpai 14 orang anak-anak. Kata bu Askia, jumlah ini sudah lumayan banyak..
biasanya yang hadir tidak sampai 10 orang, pernah yang hadir hanya 2 orang
bahkan pernah sama sekali tak ada murid yang datang.
Bu Askia adalah guru
PAUD yang telah mengabdikan dirinya 3 tahun silam. Bersama 2 orang rekannya,
mereka bertiga tetap bertahan menjadi guru bagi anak-anak ini demi keinginan
yang tulus yaitu “Agar anak-anak bisa bersekolah”. Tak usah ditanyakan gaji
mereka, toh bagunan saja seperti begitu. Mereka digaji berdasarkan iuran
“SeIKHLAS’nya” dari orang tua wali murid. Tak ada nominal yang pasti setiap
bulannya. Karena tak jarang jika ada yang tak membayar, tapi buat mereka.. tak
apalah...
Kita tak akan
menjumpai kursi atau meja belajar disini, bahkan karpet puzzle pun tak ada.
Lantai cor yang kasar ditutup dengan perlak plastik bocor menjadi lantai tempat
mereka belajar. Gedung ini terbagi menjadi dua ruangan yang dipisahkan oleh
sekat kayu tanpa model apapun. Dinding dalam ruangan dilapis dengan koran.
Beberapa poster tertempel tak beraturan disekolah ini. Mainan masak-masak
berhamburan dilantai. Diruang sebelah ada sebuah lemari kecil berwarna hijau
dan menjadi lemari satu-satunya. Tak ada lemari tas disini, hanya ada beberapa
paku yang tertancap di dinding dan sebuah baskom yang berisi tas anak-anak.
Tempat sepatu pun tak ada. Halaman belakang sekolah ini cukup luas, namun
sangat tak terawat.
Pertama kali berjumpa
dengan mereka rasanya kikuk tak tau harus bagaimana. Tapi akhirnya aku mencoba
mengakrabkan diri dengan mereka, mereka pun seperti itu.
Saat aku menyuruh
mereka bernyanyi, sontak mereka bersama-sama bernyanyi “Disini senang..disana
senang..dimana-mana hatiku senang” sambil bergaya. Bahkan saat mereka menyanyi
lagu “Kereta Api” mereka saling memegang pundak temannya lalui
mengelilingiku... haha..rasanya bahagia dan aku lupa jika aku bersedih hari
itu. Melihat mereka tersenyum aku bahagia. Merekalah penguat hatiku saat ini...
Tak ada satu orang
pun yang nampak murung wajahnya, semua nampak ceria walaupun kondisi sekolah
mereka seperti itu. Aku pikir mungkin bagi mereka ‘kebersamaan adalah segalana.
Aku belajar sesuatu dari mereka, para pejuang pagi.
Melihat mereka maka
mengingatkanku kembali pada memori sewaktu aku TK dulu. Namun syukur aku bisa
mendapat tempat yang lebih layak kiranya dari mereka. Pernah suatu hari dimasa
aku TK dulu, hari itu aku sangat malas untuk pergi ke sekolah. Aku bersihkeras
untuk tidak ke sekolah, tapi alasan malas itu tak diterima mama. Aku dipaksa
pergi sekolah. Wajah cemberut pun mengiringi kepergianku hingga tiba digerbang
sekolah. Bu guru pun membujukku untuk turun dari atas motor, papa juga
menyuruhku untuk segera masuk, tapi tetap saja aku menolak untuk beranjak dari
atas motor. Bahkan kepala sekolah pun sibuk dan datang untuk membujukku namun
tak ada yang berhasil, sebab aku merengek dan minta pulang. Bu Guru dan Kepala
Sekolah menyerah, dan papa mengalah. Aku diantar pulang.
Setibanya dirumah,
mama menyambutku dengan wajah yang sedikit marah. Aku dimarahi, katanya kalau
malas sekolah nanti tak bisa jadi apa-apa. Bahkan saat itu aku dikurung di
kamar mandi. Mungkin mama berpikir agar aku kapok, dan tidak malas sekolah
lagi. Aku tau, mama khawatir padaku saat itu. Takut jika anaknya malas sekolah
dan tak bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Syukurlah, Dato yang membukakan
pintu kamar mandi. Segera ku peluk Dato dan mengadukan mama padanya. Nasehatnya
menenangkanku. Ku hampiri mama, dan ku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Entahlah, apa jadinya jika aku tak
menyadari betapa pentingnya pendidikan saat itu, mungkin aku tak bisa seperti
ini.. dan semua ini berkat mama..
Semangat mereka mengajarkanku jika fasilitas bukanlah faktor penghambat utama yang dapat mengentikan pendidikan, tapi kemauan untuk belajar menjadi faktor terpenting.
Semangat, adik-adik pejuang pagi.. Kelak kalianlah pembangun Negeri ini...
Komentar
Posting Komentar