Satu fase lebih dewasa, 'Belajar Ikhlas'



Malam ini kembali mengingatkan malam dilima tahun yang lalu, yang berbeda kami hanya berdua. Sekalipun begitu, aku tak pernah sanggup menatap wajahnya. Malam ini aku akanmelewati satu fase lebih dewasa dari lima tahun yang lalu. Aku dan papa, duduk berhadapan, meski begitu aku jarang sekali menatap wajahnya. Ku beranikan malam ini membuka satu percakapan, yang aku tahu hal ini akan memakan waktu yang lama dan mungkin saja kami akan berdebat lebih hebat dari 5 tahun yang lalu, dan ku pastikan kali ini aku tak akan lagi lari ke kamar, mengunci pintu dan duduk terisak semalaman sambil memeluk lutut. Tidak akan.
Lima tahun lamanya, mimpi itu ku tutup rapat-rapat. Tak ku biarkan lagi diri ini untuk membukanya, meski kadang aku masih menengoknya. Lima tahun yang lalu, rasanya hancur saat semua mimpi telah ditata serapi-rapinya dan menyiapkan diri untuk menerima segala sesuatu yang akan terjadi setelahnya. Pasrah. Tapi, ternyata semesta tak merestui hal itu. Saat itu, rasanya hancur. Seperti tak akan ada lagi harapan baru. Seperti semuanya telah tertutup rapat-rapat, tak ada lagi pintu lain selain itu. Jika pun pada akhirnya ada satu jalan yang membawa diri yang tersesat ini, maka itu adalah sebuah kebetulan yang direncanakan oleh semesta.
Dan hari ini, mimpi dan rasa itu sudah tak bisa ditutup lagi. Ia bosan berada dalam angan dan ketidakpastian yang belum diperjuangkan. Maka, malam ini, aku memastikannya.
Jika ditanya, kenapa ingin masuk geologi? Alasanku dulu, karena prospek kerjanya besar. Lagipula, di kota ini sendiri dulunya belum ada Teknik Geologi, toh nantinya kalau lulus bisa melamar jadi dosen. Begitu pikirku. Tapi, sebenarnya dibalik alasan klasik itu, ada keinginan lain yang ingin dicapai. Ingin bebas. Menikmati keindahan alam, karena geologi itu rentan dengan kegiatan lapangan meski kerjanya keluar masuk hutan dan gua. Ada pelajaran yang bisa dipetik dalamnya, mensyukuri sebesar-besarnya nikmat yang Tuhan berikan. Belajar bagaimana Maha Kuasanya Tuhan, menciptakan segala sesuatunya dengan sedetail-detailnya. Melihat ciptaan-Nya lebih dekat. Itu saja.
Butuh waktu yang cukup lama, untuk bisa menyembuhkan luka lima tahun yang lalu. Mungkin karena waktu itu, rasa ini terlalu besar dan harapan pun begitu. Awalnya semua berjalan biasa-biasa saja, tanpa target, hanya sekedar ingin kuliah. Maunya dulu, ganggur setahun biar bisa daftar tahun berikut. Tapi sayang, orang tua tidak setuju. Mungkin takut anaknya dibilang pengangguran.
Satu tahun berlalu, ternyata IPK < 3, ditambah lagi sering diomeli dosen wali gara-gara lulusan salah satu sekolah terbaik tapi IPK kok bisa sebegitu -_-“. Akhirnya terpacu buat belajar lebih giat lagi, ditambah jealous liat teman-teman yang bisa dapat beasiswa, maka hari itu bertekat IPK mesti > 3 dan gol beasiswa. Ternyata, mantra Man Jadda Wa Jadda itu ampuh, serius. Semester berikutnya IPK naik, dan tahun itu juga bisa daftar beasiswa. Akhirnya, tahun-tahun berikutnya pun seperti itu, dan tidak ada lagi omelan dari dosen wali. Meski begitu, goal akhir dari semua ini masih abu-abu.
Berada dipenghujung ini membuat semakin banyak berpikir, kedepannya seperti apa, kuliah lagi, atau kerja dulu, atau kadang mikir kalo ada yang mau lamar terus cocok dan orang tua ridho cuss kita nikah. Hahaha..
Rencana A kuliah lagi. Disaat seperti ini, saya berpikir tentang satu jurusan yang diidam-idamkan beberapa waktu terakhir ini. ternyata jurusan itu ada, dan cuman satu universitas yang ada diindonesia yang punya, dan itu cuman ada di UGM. Waahh, sudah kebayang bagaimana jogja. Prospek kerjanya juga besar. Dan masih sama seperti dulu, ingin dekat dengan Alam. Jurusannya itu ‘Teknik Pengelolaan Bencana Alam’. Saya sudah tahu jawaban papa akan seperti malam ini, meski beberapa waktu yang lalu sempat menawarkan surga telinga. Untuk itu, saya butuh kepastian untuk melanjutkan rencana setelahnya. Saya sadar, jika ridho Allah itu bergantung pada ridho orang tua. Untuk itu saya hanya ingin meminta restu mereka. Sesekali papa menatap, dan menarik napas lebih dalam seolah tidak tega mengatakannya. Ternyata dugaanku benar, kali ini papa belum bisa menyetujui keinginanku. Karena saya sudah bertekad tidak akan kalah, maka malam ini mencoba mengeluarkan jurus lainnya. Tapi ternyata justru saya yang dibuat berpikir lagi dan justru saya yang memberi solusi. Keputusan itu sebenarnya tidak ada ditangan papa, justru ada ditanganku sendiri. Saya sadar, sebagai anak pertama apalagi adik-adik hampir masuk ke tahap yang cukup tinggi akan membutuhkan biaya yang juga berbanding lurus. Mana lagi anak yang kedua tahun depan akan kuliah dan yang ketiga bakal masuk SMA. Belum lagi, 3 orang sepupu yang telah yatim piatu yang belum lama ditinggal ibunya. Mama dan papa butuh orang lain untuk bisa menggenapkan usaha mereka. Saya pun tidak tega akhirnya.
Saya sudah berjanji untuk tidak lari malam ini, tidak menangis dibelakang pintu lagi. Dan saya berhasil. Justru setelahnya saya menangis haru karena lega, hidup sudah terarah karena sudah ada kepastian. Dan karena mungkin hati jauh lebih ikhlas dibanding lima tahun yang lalu. Mungkin dulu, saya bermimpi tapi tak menyandarkannya sama Allah, makanya saat saya jatuh merasa menjadi manusia paling terpuruk. Belakang ini saya belajar ikhlas, akan semua ketetapan-Nya, dan berusaha semampu diri. Toh, kalau belum berhasil berarti Allah masih menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik setelah penantian ini. :”)
Jika kita bermimpi, maka sandarkanlah sama Allah. Pasrahkan semuanya pada-Nya. Dan yakin akan ketetapan-Nya adalah yang terbaik versi Allah bukan versi kita, manusia.
Saya bersyukur, tidak ada rasa sakit yang timbul dihati malam ini. entahlah, mungkin dikatakan lebay. Tapi, saya yakin setiap orang yang melewati satu fase yang tidak jauh berbeda dari saya.
Mimpi itu tetap harus diperjuangkan, tapi dengan cara yang lain :”)
Bakal lanjut ke rencana B, dan tahun depan mesti kuliah dengan beasiswa, tapi bisa juga ke rencana C kalau calonnya sudah ketemu #eh :D
Rencana C, nikah. Sebenarnya sih seperti itu kalau ada pria yang baik-baik, bertanggungjawab dan berhasil meyakinkan orang tua, Insya Allah. Tapi, adakah niat untuk menikah benar-benar untuk mencukupkan separuh agama? Karena menikah adalah penyempurnaan agama. Bagaimana mau menikah kalau ilmu agama masih cetek :"). Hanya tidak ingin menikah semata-mata karena banyak yang udah nikah -_-". Rencana C bakal ditunda, sampai benar-benar siap. Lagipula, jodoh itu bakal datang pada waktu yang tepat.

Komentar

Postingan Populer